Minggu, 19 Mei 2013

Kisah Gather - Part 8 (ingat kembali)

Terlalu panjang kumpulan kisah ini untuk di ceritakan

Terlalu panjang pula kumpulan memori ini mampu tuk terpanggilkan kembali
Tapi ntahlah, kini ku Ingat Kembali 

Terakhir kali membicarakan cinta dengan mereka sekitar beberapa hari yang lalu.
Namun bedanya, kami tak tatap muka.
Diatas keyboard dan di tengah kamar kos ini aku tersenyum.
Sementara mereka, mungkin sedang berkumpul dengan gelak tawa yang sangat aku rindukan itu.

Hahaha, ntahlah.
Ternyata benar, waktu berlalu begitu cepat. Rasanya baru kemarin aku pergi meninggalkan mereka, rasanya baru kemarin pula aku melihat sunset dari atas bukit ketika kita mengejar matahari seusai menikmati percikan air yang menyimpan sejuta kebahagiaan itu.
Rasanya baru kemarin pula, aku keluar malam dan tertawa di taman kota yang ntah aku yakin tak ada perubahannya itu, mungkin hanya kendaraan yang semakin ramai saja menjadi pembeda berkat kemenangan incumbent yang tidak aku kehendaki untuk memimpin tanah kelahiranku itu lagi.

Kini, aku ingat kembali.
Rasanya sangat berbeda, aku berbeda ketika aku sedang disana.
Disini ? ntahlah.. Aku sibuk memikirkan ideologi, Organisasi, perjuangan, tugas mahasiswa secara riil dan bayang-bayangnya saja, dan aku juga sibuk di depan layar dan bercengkrama asik melalui teman virtual dan mengirimkan pesan yang virtual pula.
Disana ? ntahlah.. Aku sibuk dengan keluargaku, keluargaku yang asli baik riil ataupun bayang-bayangnya. Namun kembali, aku merasakan diriku yang beda. Beda dari segala hal, kehidupan yang sangat berbeda 180 derajat dari sebelumnya.

Mungkin hanya satu yang sama, diriku sebagai pembual dan raja bual serta apa lagi kata yang bisa menyiratkan bahwa aku adalah seorang pembual.

Malam ini, aku ingin menulis kembali cerita tentang kita.
Aku sangat ingin, semoga tak hanya menjadi angin lalu saja.

Dan ? Sampai mana cerita kita kemarin ?

Teruntuk keluargaku Ganteng Brother

Rabu, 15 Mei 2013

Eksistensi melebihi Esensi - Senin Sore

Apa yang salah dengan kami saat ini ?
Kuliah Eksakta, sibuk mengerjakan laporan tanpa pernah mendiskusikan ideologi dan pemikiran tentang apa yang terjadi saat ini.
Hey ! Jangan senang dulu engkau yang berkuliah sosial,
Sadarlah ! Engkau sibuk mengerjakan sesuatu yang "Eksistensinya melebihi Esensi"

Sangat sering aku menyebutkan 3 kata ini dalam beberapa minggu.
Yaa, Eksistensi Melebihi Esensi.
Kata-kata yang aku dapatkan ketika tertegun membaca sebuah goresan pena koran anonim di kampus yang entah aku namai apa ini.

3 kata singkat di tengah-tengah tulisan ngambang yang dulunya aku hanya berpikir menulis tidak akan pernah menghasilkan apapun sama sekali.

Menulis hanya menghasilkan tulisan yang entah apa tujuannya. Menulis tak lebih dari sesuatu hal konyol yang sia-sia. Menulis tak lebih dari perilaku pengecut yang tidak berani bersuara.
Namun kini aku sadar, tidak banyak orang yang berani menulis. Bahkan berbicara dan bersuara yang lantang   adalah perilaku yang lebih pengecut dari menulis itu sendiri.

Akhirnya kini, aku tersadar dengan ini semua.
Ternyata kita berbuat "hanya" untuk mengejar ke-eksistensi-an belaka ?

Apakah iya ?

Entahlah, sangat sering aku berbicara hal ini. Sangat sering aku bersikap seperti seorang pengecut.
Pengecut yang hanya berbicara lantang, dan bungkam ketika ingin menggoreskan pena.

Hah, sudah sangat sering aku katakan 3 kata ini di keseharianku.

Senin sore, adalah waktu yang rutin untuk aku meng"kampanye"kan kalimat itu di telinga teman yang entah ia sadar atau tidak dengan maksudku.
Iya, senin sore, dimana waktu itu adalah waktu yang pas ketika dosen dan seorang yang entah aku namai apa itu, mengajarkan aku dan teman-teman tentang hal yang ekslusif dan sering sekali ia berkata banyak hal yang menyiratkan "Pendidikan dan Belajar semata-mata bertujuan untuk mencari uang yang sebanyak-banyaknya."

Entahlah, sudah berapa hal yang ku anggap kebohongan belaka dari apa yang ia katakan.
Gaji Puluhan bahkan ratusan juta, seringkali keluar dari mulut manisnya.
Membuat kami berpikir suatu hal konyol dan sangat tidak mungkin.
Apakah iya ? sekelas gaji presiden Republik ini kalah jauh dengan apa yang ia sebut dengan ini dan itu.

Senin sore, kembali dimana aku sangat sering mengatakan hal ini ke teman-temanku.
Tapi entahlah, makna kuliah dasar kami tak temukan sama sekali.
Bagiku semua ini hanya angin lalu saja,
bahkan suatu ketika sempat kami disandingkan dengan anak TK ketika kami menyerahkan laporan pengerjaan yang entah eksistensinya jauh terlampau tinggi dibandingkan esensinya.
Pernah juga suatu ketika telingaku terusik mendengar kata "Bullshit" yang entah ia paham atau tidak dengan kata itu, kata yang selayaknya tidak pantas dikatakan oleh seorang sarjana Komunikasi yang notabene paham tentang ETIKA berkomunikasi.

Tak pelak, saat itu aku langsung menganggapnya hanya manusia kentut lulusan komunikasi yang tidak tahu cara berkomunikasi.
Pengerjaan dan pengerjaan tugas, tidak lebih dari eksistensi yang kami lakukan hanya untuk diakui oleh dosen dan manusia yang aku enggan sebut julukannya itu.
Segala eksistensi yang merogoh kocek kami, senantiasa kami lakukan hanya untuk dirinya.
Dan pada akhirnya kami tidak pernah tahu esensi dari semua ini apa.

Sudahlah, tak perlu aku banyak bergumam tentang hal yang sama sekali aku tidak tahu apa maksudnya ini.
mungkin iya, Esensi.
Tanpa dia dan manusia kentut itu.
Aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan dengan diriku sendiri.
Mau kemana aku, dan bagaimana seharusnya aku, tak perlu kau ajari.
Masalah moral dan tata cara perlakuan kami tak usah pula engkau nasihati.
Urus saja moral dan perlakuanmu, biar nanti kami yang akan cari bagaimana seharusnya kami.

yang jelas, segala hal yang engkau lakukan tak lebih mengajari kami, apa yang aku sebut dengan

Eksistensi melebihi Esensi

*bersambung

Sangat banyak, perlakuan Eksistensi melebihi Esensi di sekeliling kita. Entahlah, semoga dalam waktu dekat kami akan menulis hal itu semua.
Sampai jumpa di Bagian berikutnya ~