Beberapa paradigma awam mengatakan "yang penting dahulukan proses"
ternyata ada benarnya juga.
Mental praktis? entah darimana dan sejak kapan mental tersebut ditanamkan kepada sebagian besar masyarakat Indonesia. Salah satu akibat dari mental praktis ini adalah tentu saja masyarakat Indonesia memiliki mental turunan dari mental praktis yaitu mental "meminta". Implikasi pada dunia kerja, mental meminta mengakibatkan banyaknya orang yang menghidupi dirinya dari negara, bukan menghidupi negara.
Sebagai contoh, salah satu survei yang ditunjukkan oleh Prof. Darsono pada mata kuliah kapita selekta kewirausahaan ternyata hanya 0,2% masyarakat Indonesia yang menjadi "pemberi" atau dengan kata lain menjadi wirausaha. Sementara sisanya? menjadi peminta, baik meminta terhadap 0,2% orang tersebut atau meminta kepada negara dengan menjadi pegawai negeri sipil. Masih dalam survei yang sama, coba bandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia yang telah mencapai 5%, Singapura 10%, Bahkan Jepang dan Cina masing-masing 80% dan 85% adalah seorang pengusaha.
Pemaparan singkat tentang dunia kerja dan contoh survei wirausaha tentu bukanlah yang menjadi bahasan kali ini. Kita tidak membahas tentang pentingnya berwirausaha dan larangan untuk menjadi pegawai negeri sipil disini. Tapi, lebih kepada apa penyebabnya, dan darimana datangnya mental tersebut?
Sistem nilai yang terlalu dini
Kurikulum pendidikan sekali lagi perlu dikaji ulang, telah banyak opini dan pemikiran dari pakar pendidikan yang mengatakan terdapat beberapa kesalahan sistem pendidikan yang mendasar. Salah satunya, sistem nilai yang telah diterapkan pada jenjang sekolah dasar.
Taruhlah seorang anak yang pandai dalam bidang Olahraga mendapatkan nilai 9, apakah dia sudah tentu baik dan berbakat di seluruh bidang olahraga? Ada berapa jenis olahraga yang ada di dunia ini? Apa saja yang diujikan di sekolah dasar? Apakah orang tua tahu bakat anak tersebut di bidang olahraga apa? tentu saja tidak.
Contoh lain, seorang anak dipaksa harus mengikuti les tambahan matematika karena mendapatkan nilai jelek di Matematika, 5 misalnya. Lantas, mengapa orang tua hanya berpatokan pada nilai sang anak? Apakah orang tua anak tersebut tahu kurangnya sang anak di bagian mana dari matematika? tentu saja tidak.
Lantas ketika nilai yang dijadikan tujuan, kita tak pernah ada yang tahu standarisasi nilai dari setiap orang bagaimana dan jelas berbeda-beda. Lalu, bagaimana solusinya?
Bagaimana kalau sistem nilai berbasis angka diganti dengan sistem nilai yang sifatnya deskriptif. Maksudnya mendeskripsikan seorang anak di masing-masing pelajaran. Contohnya guru olahraga yg kemudian tidak menciptakan (hanya) nilai 7 - 8 - 9 saja. Coba deskripsikan, anak tersebut pandai bermain sepakbola, atau berpotensi menjadi atlet berbakat dan sebagainya, walaupun terkesan subjektif, tapi sedikit lebih baik ketimbang hanya nilai semata. Atau ketika anak mendapat nilai 5 di matematika, deskripsikan saja kekurangan anak tersebut. Setidaknya itu yg membuat orang tua lebih mengerti.
Padahal sistem nilai sejak dini membuat anak bisa-bisa menjadi minder dan bahkan melakukan segala cara untuk mendapatkan nilai tinggi. Apa akibatnya? yap, bisa jadi anak tersebut melakukan dengan cara yang baik, belajar misalkan, atau? mencontek? ya bisa jadi bukan. Bukan bermaksud lancang, setidaknya coba terapkan sistem ini sampai pada jenjang sekolah dasar, kemungkinan akan menjadi lebih baik ketimbang menggunakan sistem nilai di tengah pertumbuhan anak.
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar