Perubahan
cepat dalam teknologi informasi telah merubah budaya sebagian besar masyarakat
dunia, terutama yang tinggal di perkotaan. Masyarakat di seluruh dunia telah
mampu melakukan transaksi ekonomi dan memperoleh informasi dalam waktu singkat
berkat teknologi satelit dan komputer. Pemerintah dan perusahaan-perusahaan
besar mampu memperoleh kekuasaan melalui kekuatan militer dan pengaruh ekonomi.
Bahkan perusahaan transnasional mampu menghasilkan budaya global melalui pasar
komersil global.
Perubahan budaya lokal dan sosial akibat revolusi informasi ini tidak dapat dielakkan. Masyarakat perkotaan yang memiliki akses terhadap informasi merupakan kelompok masyarakat yang langsung terkena pengaruh budaya global. Akses informasi dapat diperoleh melalui mediamassa cetak maupun elektronik, internet, dan
telepon. Masyarakat perkotaan dipengaruhi terutama melalui reproduksi ’meme’
yang dilakukan oleh media massa
(Chaney, 1996).
Dalam konteks Indonesia, masyarakat konsumen Indonesia mutakhir tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya seperti shopping mall, industri waktu luang, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri kuliner, industri nasihat, industri gosip, kawasan huni mewah, apartemen, iklan barang-barang mewah dan merek asing, makanan instan (fast food), serta reproduksi dan transfer gaya hidup melalui iklan dan media televisi maupun cetak yang sudah sampai ke ruang-ruang kita yang paling pribadi. Hal ini terjadi di banyak masyarakat perkotaanIndonesia .
Perubahan budaya lokal dan sosial akibat revolusi informasi ini tidak dapat dielakkan. Masyarakat perkotaan yang memiliki akses terhadap informasi merupakan kelompok masyarakat yang langsung terkena pengaruh budaya global. Akses informasi dapat diperoleh melalui media
Dalam konteks Indonesia, masyarakat konsumen Indonesia mutakhir tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi yang ditandai dengan menjamurnya pusat perbelanjaan bergaya seperti shopping mall, industri waktu luang, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri kuliner, industri nasihat, industri gosip, kawasan huni mewah, apartemen, iklan barang-barang mewah dan merek asing, makanan instan (fast food), serta reproduksi dan transfer gaya hidup melalui iklan dan media televisi maupun cetak yang sudah sampai ke ruang-ruang kita yang paling pribadi. Hal ini terjadi di banyak masyarakat perkotaan
Budaya
global seperti di atas telah menggusur budaya lokal Indonesia (Ibrahim, pengantar dalam
Lifestyles oleh Chaney, 1996). Contoh untuk hal ini dapat kita lihat pada
masyarakat keraton Indonesia .
Dalam dua abad terakhir tata masyarakat kerajaan mulai memudar. Kedudukan
bangsawan dikudeta oleh kaum pedagang dengan senjata teknologi dan uang.
Legitimasi istana yang bersemboyan kawula gusti kini diinjak-injak oleh
semangan individualisme, hak asasi, dan kemanusiaan. Mitos dan agama digeser
sekularisme dan rasionalitas. Tata sosial kerajaan digantikan oleh
nasionalisme. Akibat runtuhnya kerajaan yang mengayomi seniman-cendekiawan
istana, berantakanlah kondisi kerja dan pola produksi seni-budaya istana
(Heryanto, 2000).
Kebudayaan sebagai makna
Dalam
antropologi, budaya ialah pola perilaku dan pemikiran masyarakat yang hidup
dalam kelompok sosial belajar, mencipta, dan berbagi (Microsoft Encarta
Reference Library, 2005). Budaya membedakan kelompok manusia yang satu dengan
yang lainnya.
Menurut Ariel Heryanto (2000), kebudayaan bukan dipandang sebagai suatu realitas kebendaan, tapi persepsi, pemahaman atau konsep untuk melihat, menangkap dan mencerna realitas. Kebudayaan ada hanya jika ada kesadaran, konsep, dan bahasa manusia modern untuk melihat keberadaannya. Dengan kesadaran, konsep, dan bahasa tersebut manusia memberikan makna pada dunia yang dilihatnya.
Pemaknaan diri sendiri dan dunia di sekelilingnya merupakan perlengkapan mutlak bagi setiap orang untuk menggeluti berbagai kenyataan di sekitarnya (Heryanto, 2000). Namun bentuk dan isi makna-makna ini bukan takdir yang statis dan tak dapat ditawar-tawar. Bentuk dan isi makna ini dapat berubah sesuai dengan keinginan manusia.
Menurut Ariel Heryanto (2000), kebudayaan bukan dipandang sebagai suatu realitas kebendaan, tapi persepsi, pemahaman atau konsep untuk melihat, menangkap dan mencerna realitas. Kebudayaan ada hanya jika ada kesadaran, konsep, dan bahasa manusia modern untuk melihat keberadaannya. Dengan kesadaran, konsep, dan bahasa tersebut manusia memberikan makna pada dunia yang dilihatnya.
Pemaknaan diri sendiri dan dunia di sekelilingnya merupakan perlengkapan mutlak bagi setiap orang untuk menggeluti berbagai kenyataan di sekitarnya (Heryanto, 2000). Namun bentuk dan isi makna-makna ini bukan takdir yang statis dan tak dapat ditawar-tawar. Bentuk dan isi makna ini dapat berubah sesuai dengan keinginan manusia.
Peran nalar dalam pemaknaan hidup
Nalar
didefinisikan sebagai kemampuan mental yang berguna untuk menyesuaikan
pemikiran maupun tindakan dengan tujuan (Brown, 1993). Nalar bekerja dengan
kaidah filsafat (penarikan kesimpulan) dan kaidah psikologi (teori kesadaran).
Nalar telah mengantarkan manusia ke kedudukan yang tinggi dengan membantunya
mengumpulkan pengetahuan.
Dapat kita simpulkan bahwa nalar adalah produk biologis- sekadar alat yang menurut kodratnya terbatas kemampuannya (Calne, 2002). Nalar telah meningkatkan mutu cara kita melakukan sesuatu, tetapi nalar tidak mengubah mengapa kita melakukannya. Nalar lebih merupakan fasilitator daripada inisiator. Kita memakai nalar untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan menentukan apa yang kita inginkan. Nalar telah melahirkan pengetahuan yang membuat kita bisa terbang keliling dunia kurang dari 2 hari. Walaupun demikian kita melakukan perjalanan karena maksud dan alasan yang sama dengan yang mendorong leluhur kita dulu bepergian- berdagang, penaklukan, agama, petualangan, atau penindasan.
Dapat kita simpulkan bahwa nalar adalah produk biologis- sekadar alat yang menurut kodratnya terbatas kemampuannya (Calne, 2002). Nalar telah meningkatkan mutu cara kita melakukan sesuatu, tetapi nalar tidak mengubah mengapa kita melakukannya. Nalar lebih merupakan fasilitator daripada inisiator. Kita memakai nalar untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan menentukan apa yang kita inginkan. Nalar telah melahirkan pengetahuan yang membuat kita bisa terbang keliling dunia kurang dari 2 hari. Walaupun demikian kita melakukan perjalanan karena maksud dan alasan yang sama dengan yang mendorong leluhur kita dulu bepergian- berdagang, penaklukan, agama, petualangan, atau penindasan.
Dengan
gencarnya promosi gaya
hidup modern sekarang ini, kita harus bisa mengambil sikap. Perubahan budaya
lokal tidak dapat dielakkan, namun kita dapat mengarahkan perubahan tersebut.
Corak budaya global yang negatif kita hilangkan, namun yang positif kita ambil.
Budaya luar yang baik untuk kita adopsi adalah budaya yang memerdakan dan membebaskan manusia. Menurut Immanuel Kant, ada dua unsur yang penting dalam manusia merdeka. Pertama, digunakannya akal budi sebagai satu bagian manusia- nalar yang mampu memecahkan persoalan-persoalan ethis tanpa sama sekali mengacu kepada wujud yang ilahiat. Kedua, ’publik’ sebagai arena. Bagi Kant, ukuran manusia yang dewasa, merdeka, adalah ketika ia mempergunakan nalarnya di arena publik tersebut. Untuk bisa mencapai ke arahsana , dibutuhkan kemandirian yang
bertanggungjawab serta disiplin. Dan nalar menunjukkan bagaimana cara efektif
dan efisien untuk melakukan perubahan tersebut.
Kemandirian berarti kita mampu hidup tanpa bergantung mutlak kepada sesuatu yang lain. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri, serta berstrategi dengan kelebihan dan kekurangan tersebut untuk mencapai tujuan. Dan nalar adalah alat untuk menyusun strategi.
Bertanggungjawab maksudnya kita melakukan perubahan secara sadar dan memahami betul setiap resiko yang bakal terjadi serta siap menanggung resiko. Dan dengan kedisiplinan akan terbentukgaya
hidup yang mandiri.
Dengangaya
hidup mandiri, budaya konsumerisme tidak lagi memenjarakan manusia. Manusia
akan bebas dan merdeka untuk menentukan pilihannya secara bertanggungjawab,
serta menimbulkan inovasi-inovasi yang kreatif untuk menunjang kemandirian
tersebut.
Budaya luar yang baik untuk kita adopsi adalah budaya yang memerdakan dan membebaskan manusia. Menurut Immanuel Kant, ada dua unsur yang penting dalam manusia merdeka. Pertama, digunakannya akal budi sebagai satu bagian manusia- nalar yang mampu memecahkan persoalan-persoalan ethis tanpa sama sekali mengacu kepada wujud yang ilahiat. Kedua, ’publik’ sebagai arena. Bagi Kant, ukuran manusia yang dewasa, merdeka, adalah ketika ia mempergunakan nalarnya di arena publik tersebut. Untuk bisa mencapai ke arah
Kemandirian berarti kita mampu hidup tanpa bergantung mutlak kepada sesuatu yang lain. Untuk itu diperlukan kemampuan untuk mengenali kelebihan dan kekurangan diri sendiri, serta berstrategi dengan kelebihan dan kekurangan tersebut untuk mencapai tujuan. Dan nalar adalah alat untuk menyusun strategi.
Bertanggungjawab maksudnya kita melakukan perubahan secara sadar dan memahami betul setiap resiko yang bakal terjadi serta siap menanggung resiko. Dan dengan kedisiplinan akan terbentuk
Dengan
numpang Bloggwalking gan,
BalasHapussukses selalu